10.10.2009

Semoga Kau yang Terakhir

3 tahun lalu.

Disitu sebenarnya kisah ku dimulai. memasuki masa SMA yg kata orang 'masa paling indah', membuatku berangan2 sebenarnya apa yg akan ku alami selama 3 tahun ke depan. Indahkah? Burukkah? Ah yg terpenting untukku, masa SMA ini -aku yakin- akan menjadi masa yg tak pernah bisa ku lupakan meski aku harus menderita Alzheimer sekalipun.

Sekolah yg lebih sering aku anggap tempat paling menyedihkan sedunia itu, menjadi tempat pertemuanku dengannya. Tak banyak kesan yg bisa ku dapatkan dari pertemuan pertamaku dgnya. Jujur, rasa ketertarikan itu ada, muncul, nyata, tapi aku tak pernah berusaha untuk menunjukkannya kepada siapapun. Tidak ke teman2 terdekatku sekalipun.
Hal itu selalu ku lakukan jika aku tertarik kepada seseorang, -masih- dalam tahap suka, tidak lebih. Begitupun juga yg aku rasakan saat itu.

Beberapa kali, ku lihat beberapa perempuan mencoba mendekatinya. Aku akui, dia memang memenuhi syarat sebagai 'laki-laki menarik' dari beberapa laki-laki yg ada di sekolah ku saat itu. Sikapnya yg 'dingin' kepada perempuan yg berusaha mendekatinya pun, membuat ku semakin yakin untuk tidak mendekatinya.

Lucunya, aku sempat berfikir dia itu gay. Ya gay, penyuka sesama jenis. Tak heran, karena aku selalu memperhatikannya -dari jauh tentunya- dan memperhatikan ekspresinya yg -menurutku- sama sekali tidak nyaman jika ada seorang murid perempuan yang datang menghampirinya dan memaksanya untuk berbicara. Atau ketika ada seorang murid perempuan yg mencoba menarik perhatiannya dengan berlari sambil berteriak kecil dan -menurut perempuan itu, tidak untukku atau untuk dia- imut, atau anggun, hanya untuk membuatnya menoleh ke arah perempuan itu. Seketika perempuan itu memerah wajahnya dan aku rasa ada api yg sedang berkobar-kobar di balik seragamnya yg ketat dan tembus pandang itu.
Aku berharap murid perempuan itu tidak buru-buru memalingkan wajahnya agar dia bisa melihat kerutan di dahi laki laki yg aku perhatikan daritadi, tanpa henti- mulai muncul dan sejenak bisa ku lihat, muncul ekspresi heran yg perlahan berubah menjadi jijik di wajahnya. Tak lama dia memalingkan wajahnya kembali ke papan tulis.

Inilah aku. aku tak pernah berfikir untuk mendekatinya sekalipun, bahkan untuk menunjukan bahwa aku tertarik padanya pun, tidak. tidak sama sekali.
Suatu hari entah bagaimana caranya, salah seorang temanku menangkap basah aku sedang memperhatikannya dari jauh. Mau tidak mau, aku mengaku.
"Ya...aku tertarik padanya. Tp tidak untuk mendekatinya." jawabku ketika temanku bertanya mengapa tidak ku dekati saja dia. Jujur, aku lebih suka seperti ini daripada aku harus berusaha mendekatinya dengan seribu macam cara, tp yg aku dapat hanya ekspresi kosong atau malah mungkin ekspresi jijik seperti yg murid perempuan itu dapatkan. Tidak. Aku lebih suka memperhatikannya dari jauh, menikmati setiap gerak geriknya yg terkadang terlihat aneh di mataku. Tak apa, aku tetap menyukainya walau begitu.

Suatu hari, entah ku dapat keberanianku darimana. Hanya bermodal muka tebal mencoba mendapatkan nomor handphone dan alamat emailnya. Hanya untuk sederet nomor dan sebaris kata-kata, aku membutuhkan banyak tenaga dan berfikir berulang-ulang kali untuk melakukannya. Akhirnya, aku mengatakannya. Aku memberikan secarik kertas, dan dia mulai menuliskan sederet angka dan kata-kata yg menurutku sangat penting itu. Entah pada detik itu atau pada detik berikutnya aku membulatkan tekadku untuk menghubunginya ketika pulang sekolah nanti.

Mulai dari saat itu, aku mulai merasa dekat dengannya. Ya, aku ingat pertama kali ketika aku bertemu dengannya aku mengganggapnya sedikit aneh. Tapi saat itu aku merasa, dia normal. Entah dia yg sudah sembuh dari sifat anehnya itu, atau aku yg sekarang jadi ikut sifat anehnya itu. Tapi aku rasa tidak. Semua teman-temanku pun mengganggapnya normal. Seperti murid SMA biasanya. Sifatnya yg eksentrik dan sedikit arrogant tetap tak hilang dari dirinya. Kami berteman, seperti yg lain. Dan aku mulai berfikir, aku tak akan pernah menyatakan perasaan ku padanya. Aku suka, tapi belum tentu aku bisa menyayanginya seperti orang pacaran layaknya. Aku suka pertemanan ku dengannya. Dan mungkin memang ini yg sebenarnya aku butuhkan.

Kelas 2 SMA benar-benar masa yang sangat mengesankan untukku. Dalam kurun waktu tersebut, sudah ku temui 2 laki-laki yg sempat mengisi kisah cinta di buku diary ku. Ya, aku menyayangi mereka di waktunya masing-masing. Walaupun kedua perjalanan cintaku itu tidak berjalan mulus, selesai sebelum waktu yang aku perkirakan.
Dan seingatku, saat aku berpisah dengan pacar terakhir ku -saat itu- aku berfikir untuk tidak menjalin hubungan dengan siapapun dalam waktu dekat. Aku ingin menyibukkan diri dg hal2 yg aku sukai, berusaha untuk bahagia walaupun sendiri, dan tidak ingin membuang waktuku untuk siapapun yg akhirnya hanya akan membuat ku menangis.

Tiba lagi saatnya kenaikan kelas. Tidak terasa 2 tahun sudah ku lalui bersamanya. Waktu aku kelas 2, jujur aku sama sekali sudah tidak merasakan apapun saat aku melihatnya bahkan saat dia menyenderkan kepalanya di bahuku. Tidak ada lagi rasa menggelitik ketika aku m-elihatnya seperti kelas 1 SMA dulu. Walaupun sekarang kami bisa dikatakan cukup dekat, Oke dekat sekali-. Hampir semua guru mengira kalau kami pacaran. Tapi tidak. Dia pun juga bersikap sama dengan teman-temanku yg lain. Dan aku tidak pernah mengganggapnya gay atau homo lagi, karena beberapa kali dia mencoba mendekati murid perempuan di sekolah ku tapi sayangnya, gagal. Kadang aku berfikir, bodohnya perempuan-perempuan itu menolaknya. Karena aku tau, dia bukan tipe laki-laki yang mudah berganti-ganti pacar seperti laki-laki kebanyakan. Kalau alasannya karena dia bukan orang yg rapi dan cenderung cuek dengan penampilannya, aku yakin seseorang yg dia sayangi dan menyayangi dia bisa merubah itu semua. Dan aku lebih yakin lagi, kalau dia akan tampak mengagumkan jika ada seseorang yg berhasil merubah itu semua.

Capoeira. Satu hal yg ku gunakan untuk menyibukan diri, melupakan semua masalah yg sedang ku hadapi saat itu. Tapi juga yg membuatku semakin dekat dengannya. Seni budaya Brazil yg sudah ditekuninya sejak dia masih di bangku SMP itu, membuat ku tertarik untuk mencoba. Aku suka Capoeira, seperti aku suka berenang.
Akhirnya, saat liburan kenaikan kelas 3 tiba aku mengikuti latihan pertamaku. Ya, dengan sedikit muslihat akhirnya aku mendapatkan ijin dari kedua orang tuaku yg tadinya tidak begitu setuju mendengar usulku yg ingin menekuni Capoeira. Capoeira bukan hal yg mudah bagiku. Tubuhku kaku, tidak lentur seperti teman-temanku pada umumnya. Dan aku malas bergerak, mungkin itu penyebabnya.

Teman-teman ku bertambah sejak aku latihan. Mereka baik, ramah, walaupun ada beberapa yg menurutku tidak menyenangkan. Tapi aku mencoba untuk menyukai mereka, bagaimanapun mereka. Banyak diantara mereka yg selalu bertanya pada ku atau padanya "Mengapa tak kau jadikan saja dia sebagai pacarmu?" atau "Bukankah lebih baik kau resmikan saja hubungan kalian?" yang selalu berakhir dengan jawabanku "Tidak. Kami hanya berteman".
Yang membuatku heran, dia selalu diam saat aku menjawab, tidak menambahkan, tidak berkomentar. Hanya diam dengan ekspresi muka yg sungguh sulit untuk dijelaskan.

Sekolah, Capoeira, pergi nonton, hampir kemanapun aku pergi aku selalu ditemani olehnya. Dan aku mulai terbiasa dengan semua itu. Setiap hari kami bertemu. Entah hanya untuk pergi makan, pergi latihan, atau bertemu di sekolah. Dia selalu menjemput dan mengantarku pulang. Tak jarang juga dia bermain di rumahku. Seisi rumah ku pun sudah mengenalnya. 2 adikku sangat menyukainya. Mungkin karena dia sangat suka bermain game, dan adikku pun juga begitu. Keluarganya pun sudah mengenalku, sebagai teman dekatnya.
Sssst. Ada satu rahasia disini. Saat aku pertama kali latihan Capoeira, aku menyukai kakak laki-lakinya yang berkepala plontos itu. Dan entah kenapa, saat aku menceritakan isi hatiku tentang kakaknya, dia terlihat tidak begitu senang. Dia tidak pernah menanyakan perasaanku lagi dan dia terlihat tidak begitu mendukungku. Entah kenapa.
Tapi itu tidak berlangsung lama. Karena sama seperti dulu, aku tidak pernah berniat sedikitpun untuk mendekati kakaknya. Aku tidak pernah berfikir untuk menunjukan rasa suka sedikitpun kepada kakaknya. Aku hanya menganggapnya sebagai kakak teman baikku, teman Capoeira ku, dan teman fotografiku. Itu saja. Dan aku segera melupakannya, kembali ke kehidupanku yg semula.

Waktu yg aku lewati dengannya terasa cepat. Dia selalu berusaha ada untukku kapanpun aku membutuhkannya. Dia selalu berkata "Ya" saat aku meminta sesuatu untuk diambilkan. Dia selalu berkata "Sebentar lagi aku akan kerumah mu" saat aku memintanya menjemputku dan mengajakku pergi keluar.
Dan ini kan yang namanya hidup. Masalah datang dan pergi seperti angin yg berhembus. Tapi tidak bisa juga kita sebut angin karena terkadang masalah bisa memberi perubahan untuk hidup seseorang. Saat itu, aku dilanda sebuah masalah keluarga. Malam hari yang membuat ku semakin merasa tidak punya tempat untuk lari dari masalah itu juga semakin membuatku merasa sendirian dan tak punya siapa-siapa untuk berbagi. Entah mengapa, dipikiranku saat itu hanya ada namanya dan ku putuskan untuk mencarinya. Dan dia disitu. Mendengarkan cerita yang diiringi tangisanku di seberang telepon. Menemaniku semalaman dan berusaha menenangkanku dan berkata "Semuanya akan baik-baik saja. Jangan menangis lagi ya?". Dan jujur, disitulah aku merasa memiliki seseorang yg bisa memperhatikanku. Dan aku merasa dia melindungiku. Aneh, entah bagaimana caranya hanya dengan sebuah kalimat, dia bisa membuat ku merasa begitu.

Sampai suatu hari dia menyatakan perasaannya padaku. Aku kaget. Sungguh. Walaupun sebenarnya aku sudah pernah membayangkan apa yg akan aku lakukan jika saat-saat seperti ini datang? Dan datanglah saat itu. Aku hanya diam dan berusaha mengalihkan pembicaraan karena berfikir dia hanya bercanda. Dia orang yang sangat suka bercanda, kata-katanya asal-asalan, dan aku takut saat itupun dia sedang bercanda. Tapi tidak, kali ini dia serius. Aku belum pernah melihatnya seserius ini sebelumnya. Tapi aku tetap tidak mempunyai jawabannya. Sampai dia menyatakan perasaannya untuk yg kedua kalinya. "Aku sungguh menyayangimu. Dan apa lagi yg harus kita lakukan jika bukan meresmikan hubungan kita ini?"
Aku diam. Ingin sekali rasanya aku menangis. Banyak hal yg saat itu aku rasa, akan sulit dijelaskan kepada semua orang. Diriku sekalipun. Terlebih aku ingat, sering sekali aku berkata kepada orang lain kalau aku tidak akan pernah menjadikan sahabatku sebagai pacar, atau aku lebih memilih berpacaran dengan orang yg sama sekali belum ku kenal daripada harus pacaran dengan teman baikku sendiri. Dan belum lagi aku harus memikirkan apa yang akan terjadi jika aku harus kehilangan seorang sahabat hanya karena status pacaran ini?
Tapi dalam hatiku berkata lain. Aku menyayanginya dan aku pasti bisa menjelaskan semuanya satu per satu.

Dan akupun mulai meminta maaf kepada teman-temanku dan menjelaskan semuanya. Perasaan ku, hubungan ku dengannya, semua hal yang bisa membuatku seperti menjilat air liurku sendiri. Sungguh, saat itu aku merasa orang paling bodoh sedunia karena mengatakan hal yg sebenarnya belum tentu bisa aku lakukan. Tapi aku sekaligus bahagia karena teman-temanku mengerti keadaanku, mendukungku dan berkata, "Itu jalan hidupmu. Kami akan bahagia untukmu selalu." Rasanya lega seperti mengaku suatu dosa yg selama ini aku tutupi dari siapapun.
Aku menerimanya. Walaupun aku tidak pernah menjawab "Ya" secara langsung. Ku cium pipinya saat dia berkata, "Bagaimana?". Dan aku tersenyum.

Sekarang hubungan ku dengannya hampir berjalan 2 bulan. Memang bukan waktu yg lama. Tapi kami berharap kami tetap bisa merayakan 2 tahun perayaan hubungan kami nanti dengan perasaan yang sama seperti yg kami rasakan saat ini, tanpa berkurang sedikitpun.
Aku berharap, dia orang terakhir dan tidak menambah lagi daftar mantan pacarku di buku diaryku. Aku berharap hubungan ku dengannya tidak seperti hubungan ku yg sebelumnya. Aku yakin, kami bisa bahagia dan saling membahagiakan. Aku bisa merasakannya. Walaupun dia jauh dari tipe pacar impianku, tapi aku bahagia. Dia bisa membuat ku tersenyum sepanjang hari hanya dengan mengecup keningku, atau membisikkan kalimat "I love you" di telingaku.

Satu hal lagi, dia juga bukan orang yg romantis. Jadi aku tak perlu repot-repot berharap dia akan membawakanku setangkai bunga mawar tiap pagi atau mengirimiku kata-kata puitis tiap malam sebelum aku tidur. Tapi bagaimanapun dia, aku senang bersamanya, mengurusnya. Menemaninya memangkas rambut, menyuruhnya berhenti menggigiti kuku, memintanya merapikan bajunya yg berantakan, atau mengisikannya formulir untuknya masuk kuliah, atau memeluknya sampai dia tertidur saat dia memintaku "Peluk aku".

Dia membuatku merasa berguna dan berharga. Tak pernah ku dengar kata-kata romantis keluar dari mulutnya. Tapi dengan begitu, aku lebih bisa menghargai perbuatannya daripada hanya sekedar kata-katanya. Dan aku selalu yakin, dia berbeda dari laki-laki yg banyak ku temui.
Rasanya, aku tidak akan pernah bisa lebih bahagia lagi :)

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home